-----------------------------------------------------------------------
Setelah lulus SMP, sempat ditawarkan untuk bekerja di toko oleh saudara di Bandar Lampung. Akupun terkesipu mau tapi setelah mendapatkan ijazah. Sembari menanti pembagian ijazah, aku memanfaatkan waktu senggang itu untuk membantu meringankan beban ibu dengan ikut kakak bekerja di pangkalan pasir. Kelihatannya enak apalagi dapat uang lumayan besar. Setelah ku coba selama satu bulan ternyata ini tidak bisa diteruskan. Pasalnya kerja begitu susah! Bayangkan membuang air di jalan ketika hujan dan menutupinya dengan tanah dan batu ketika panas karena jalan itu untuk mobil-mobil yang mengangkut pasir masuk dan keluar pangkalan. Kerjanya pun sampai malam bahkan lembur hingga besok kembali. Uang yang didapatkan berkisar antara 80 ribu sampai 100 ribu rupiah.
Timbullah pikiran “kapan aku bisa beli motor, bisa buat rumah kalau kerjanya seperti ini?” Bukannya tidak mensyukuri tapi memikirkan masa depan, pikiran yang hadir saat itu. Melihat anak-anak sekolah pulang siang hari, timbul pikiran untuk kembali melanjutkan pendidikan di bangku SMA. Soalnya kerja yang ku jalani sekarang sangat susah, tidak bisa dipertahankan. Jangankan ijazah SMP, ijazah SMA saja tidak berlaku kalau kerja di kantor-kantor. Itulah kenapa muncul keinginan untuk sekolah. Tapi dari mana uang untuk biaya sekolah?
Bingung dan harus mau bagaimana? Sementara pada saat itu bertepatan dengan pernikahan kakak perempuanku dan ibu pernah berujar kalau beliau tidak mampu membiayai. Tapi aku berusaha tidak putus semangat, akhirnya dengan nomor urut 50 aku dinyatakan diterima di SMAN 1 Gunung Sugih. Selama duduk di bangku kelas X, banyak sekali ujian yang Allah berikan sampai ingin mengundurkan diri karena terbentur dana tepat menjelang tenggat waktu pembayaran SPP semester pertama tiba. Daftar ulang pendaftaran pun belum lunas. Aku pun hanya bisa berpikir, “Ya Allah harus ke mana hamba mencari uang sementara ibu tidak mampu. Jjangankan mau bayar SPP, makan saja susah.”
Setelah berbicara dengan Waka. Kesiswaan akhirnya aku mendapatkan Nomor Ujian Semester walaupun baru dapat diambil ketika proses ujian telah berjalan. Aku harus legowo mengerjakan ujian satu jam lebih lambat untuk mengurusinya. Walaupun masih ada rasa malu kepada teman-teman, aku memberanikan diri demi sebuah kesuksesan.
Hari terus berlanjut seakan tidak memperhatikan kondisi dan keinginanku. Ujian yang Allah berikan terus berjalan. Pada saat itu tepat pada hari Rabu tertinggal aku sendiri di rumah. Ibu dan kakak-kakakku menginap di tempat saudara karena ada hajatan. Pada saat itu aku diuji Allah dengan berangkat sekolah hanya memegang uang seribu rupiah. Itu hanya cukup untuk ongkos pergi. Namun ide terus berjalan. Kebetulan di rumah banyak lada hasil panen satu pohon di belakang rumah, satu botol ku ambil untuk dijual lima ribu rupiah yang kemudian uang itu aku gunakan untuk ongkos. Tapi satu pun tidak ada yang mau membelinya. Tidak tahu mengapa “Ya Allah haruskah hamba jalan menuntut ilmu dengan modal seribu rupiah ini? Alangkah pedih ujianmu ya Allah.” Keluhku pada saat itu.
Dengan senyuman yang manis, menutupi aura kesedihan di muka, dengan niat modal uang seribu untuk menuntut ilmu, aku tidak memikirkan bagaimana mau pulang. Ternyata dengan optimisku tadi, saudaraku memberi uang lima puluh ribu rupiah. Uang tersebut kiriman abang yang kerja di Jepang. Senang sekali rasanya saat itu jalan ke sekolah dengan modal uang seribu rupiah untuk menuntut ilmu dan keyakinan yang kuat uang tersebut berlipat menjadi lima puluh ribu rupiah. Maha Besar Allah yang menggerakkan hati manusia. Kebetulan pada saat itu ada pelajaran bahasa Indonesia yang bercerita tentang pengalaman. Nah, aku cerita semua sampai sampai guruku Pak Mirzam dan teman teman menangis begitu diriku sendiri.
Tahun pun berganti tidak terasa menduduki kelas XI. Aku terpilih menjadi Ketua OSIS setelah melalui proses yang demokrastis. Menang mutlak dengan perolehan suara 80% mengalahkan dua kandidat lain yang kebetulan perempuan. Dari sini aku belajar berorganisasi dengan baik dan bertemu dengan sosok yang memahami posisiku sebagai anak yang terlahir dari keluarga yang tidak berkecukupan. Beliau pernah mengalami apa yang ku rasakan sehingga selalu memotivasiku dan ku anggap seperti bapak sendiri. Adalah Bapak Drs. Rusli yang kebetulan guruku sendiri. Ternyata dulu waktu duduk di bangku kelas X semester 2, satu bulan penuh aku berdoa agar Allah mengirim satu orang yang mengerti dan menjadi “tempat curhat” ketika hati ini merasa lemah di timpa masalah. Allah menjawab permintaanku satu itu. “Terima kasih Pak Rusli atas motivasi bapak selama ini. Arahan dan dukungan bapak, akan Rosim ingat selalu bapakku.” Begitu pula dengan Bapak Drs.H.Dasiyo Priambodo, M.Pd.
Dengan mengemban amanah sebagai Ketua OSIS dan waktu yang sama menjabat 6 rangkap ketua organisasi baik di sekolah maupun di luar sekolah, aku benar-benar menyalurkan hobiku berorganisasi. Sehingga akhir pekan pun tercurahkan untuk organisasi-organisasi tersebut. Pernah ada seorang kawan yang masih satu gang rumah denganku berkata, “Sekolah kok gak pernah libur, kegiatan terus?” Tapi itu menjadi motivasi untuk berkembang.
Dengan semangat yang luar biasa mampu mengantarkanku hingga ke Istana Presiden Republik Indonesia bersama tim dari Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga dalam rangka studi bersama anak-anak berprestasi di Lampung Tengah. Sempat berfikir, “Ya Allah mungkin di keluarga besar baru hamba yang menginjak istana ini.”Begitupun hal yang berkesan bagiku saat dipilih untuk mewakili peserta Latgab Paskibra se-Lampung Tengah yang langsung disemat oleh bupati. Rasa bangga dan mengaharukan ini tidak lain karena doa dan usaha ibu tercinta. Setidaknya ini cukup menghibur selama ujian datang bertubi-tubi.
Menjelang kelulusan SMA, terbersit kembali keinginan untuk melanjutkan belajar. Sama seperti yang sudah-sudah, aku sampaikan keinginan ini kepada ibu. “ Sim, janganlah dikau kuliah. Biaya dari SMP dan SMA saja ibu tidak mampu. Berpikirlah dua kali nak.” Tukas Ibu kepadaku. Lalu aku menjawab,” Ya Bu, tidak usah khawatir masalah biaya. Allah Maha Kaya Bu. Insyallah Rosim hanya minta doa ibu.” Dengan muka meyakinkannya.
Aku Harus Kuliah!
SMA-ku merekomendasikan Rosim mengikuti SNMPTN jalur Undangan. Namun apa daya aku belum berhasil. Belajar kesabaran lagi. Padahal uang pendaftaran ku dapat dari Ibu, seratus ribu rupiah hilang begitu saja. Aku gagal lagi! Aku sempat kecewa karena mungkin uang tersebut dapat digunakan untuk membeli beras. Pikiranku melayang menunjukkan kekecewaan dan penyesalan yang begitu mendalam. Namun aku tetap bersemangat untuk mengikuti SNMPTN Tertulis walaupun kurang persiapan seperti yang dilakukan teman-teman yang memiliki biaya untuk ikut kursus. Lagi-lagi, tidak ada biaya untuk mendaftarnya. Dengan rasa sungkan aku meminta Bapak Angkatku Pak Rusli melalui SMS. Beliau menjawab tidak memiki uang juga.
Selidik demi selidik, Pak Rusli – guru SMA Rosim- hanya menguji semangatku di akhir masa tenggat pendaftaran SNMPTN itu. Cucuran air mata membasahi keningku di kala aku memberanikan diri meminta bantuan kepada Bendahara Sekolah. Pak Rusli membiayai pendaftaran, Alhamdulilah. Lagi, mungkin belum rezekiku karena aku dinyatakan gagal. Ada rasa kecewa terhadap diri sendiri maupun kepada Bapak Rusli yang telah membantu. Rasa hati begitu ingin kuliah ku curahkan ketika menunaikan shalat Isya. Aku berdoa kepada Allah. Keesokan harinya aku mendapatkan informasi dari seorang kawan di Facebook bahwa Universitas Lampung membuka pendaftaran bagi mahasiswa baru yang “tidak mampu” alias miskin namun berprestasi melalui jalur PMPAP. Kebetulan piagam-piagam bukti prestasiku seperti Juara I Lomba LCT UU Lalu Lintas se-Lampung Tengah, Juara 3 Lomba LCT Pramuka se-Lampung dan penghargaan Siswa Berprestasi dari sekolah serta 15 piagam lainnya menjadi modal tersendiri. Dengan itu ada keyakinan dalam diri untuk mengurusi persyaratan baik dari sekolah maupun kelurahan kampungku.
Lanjut cerita pada saat pengumuman dinyatakan lulus di jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, rasa syukur bercampur bangga menyelimuti pikiranku. Aku pun langsung memberi kabar keluarga di rumah. Ibu kaget bukan kepalang karena tidak menyangka bahwwa anaknya bisa kuliah. Begitu juga dengan kakak-kakaknya. Sungguh Maha Besar Allah hingga akupun direkomendasikan untuk ikut program beasiswa Bidik Misi dan dinyatakan lulus. Mendapatkan beasiswa tidak kurang dari enam juta rupiah per semester.
Program Bidik Misi adalah salah satu program yang diadakan oleh pemerintah untuk membantu para mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi namun berpestasi seperti aku. Beasiswa terdiri dari biaya kuliah dan biaya hidup di kota Bandar Lampung. Sebelum masa perkuliahan dimulai, aku juga pernah bekerja sebagai penyiar radio Slendro 106,2 FM selama dua bulan. Karena tidak ingin menyusahkan lagi kerabatku, aku sempat bingung memikirkan tempat tinggal di ibukota provinsi Lampung itu. Sebenarnya mahasiswa penerima Bidik Misi mendapatkan asrama dengan syarat membayar uang muka lima ratus ribu rupiah. Karena biaya hidup beasiswa Bidik Misi belum cair, akhirnya aku bertemu dengan seorang pengusaha di Lampung Tengah yang menawarkan tempat tinggal di rumahnya. Aku pun mengiyakan. Beliau seperti kakak sendiri yang sangat mengerti situasi dan kondisi yang ku hadapi. Bahkan, beliau juga rela meminjamkan sepeda motor dan seperangkat komputer untukku. Kini aku sudah tinggal lagi dengan beliau karena aku ingi belajar lebih mandiri agar mampu memahami arti hidup yang sesungguhnya.
Kini semuanya tinggal aku yang menjalani berbagai retorika yang ada meski terkadang ritorika itu menyakitkan namun tetap dijalani dengan senyuman meskipun dibalik senyuman hati ini menangis, Berbagai ujian melampiri namun ku senantiasa ku hadapi dengan senyuman.
Perjalanan pahit mulai dari hinaan, cacian bahkan remehan orang lain saya terima dengan legowo. Aku berjanji akan mengangkat derajat keluarga hingga orang yang meremehkan tersebut tidak menyangka melihat revolusiku kelak. Karena aku yakin pasti bisa berbuat dan bertindak. Aku telah membuktikan retorika-retorika selama ini. Mungkin ini gambaran dan tanda-tanda menuju titik puncak. Sekarang tinggal aku menjalaninya. Ini sudah menjadi garis perjalanan hidupku. Terima kasih ayah, ibu, dan keluarga serta orang yang telah hadir dalam cerita hidupku.
0 komentar:
Post a Comment