Secara historis dan geografis awal terbentuknya kota Metro tak lepas dari penyerahan hak tanah ulayat marga Nuban pada pememrintah Hindia Belanda yang menjadi penguasa wilayah Metro pada waktu itu, untuk mengali kembali fakta-fakta sejarah pada saat itu tentang peran masyarakat lampung pada awal terbentuknya kota metro, serta untuk menemukan akar budaya lampung yang bisa dianggap sebagai “budaya lokal” dalam pengembangan budaya tradisional masyarakat Lampung di kota Metro, maka pada tahun 2014 Disdikbudpora melalakukan penggalian sejarah untuk mengurai fakta-fakta itu. Hal ini menjadi kursial agar kebijakan bidang budaya lampung yang dikembangkan di kota Metro memiliki pijakan akar tradisi yang jelas dan bersumber padamasyarakatasli. Kegiatan penelitiam dan penulisan buku ini Disdikbudpra menurunkan 2 orang penulis Muhamad Zaky, M.Ag dan Diana Ambar Wati dengan dieditori oleh Rifian Hadi dan Kata pengantar oleh Ari Pahala Hutabarat, berikut hasil ressensi
Bukunya yang ditulis oleh Ari Pahala Hutabarat. :

Perjalanan mencari dan menggenapkan identitas adalah perjalanan yang seakan tak berakhir, melelahkan, tapi sekaligus menggirahkan. Pencarian identitas adalah kisah primal, tema dasar yang kemudian menjadi ilham bagi segenap mitos dan dongeng yang ada di setiap peradaban di muka bumi ini. Identitas adalah ontologi, yang kemudian menjadi akar bagi arah dan kecenderungan pertumbuhan organis, baik bagi manusia, kultur, bahkan bagi sebuah kota. Identitas adalah rumusan yang sederhananya harus ditemukan untuk menjawab pertanyaan dasar—dari mana dan mau ke mana?karena itu, usaha menggenapi sebuah identitas menjadi penting, jika tak dikatakan menjadi sangat-sangat penting. Sebab orientasi dan aksi dalam bentuk apa pun yang tak beranjak dari akarnya, dari pengenalan akan identitas dirinya, hanya akan menghasilkan bunga atau buah yang masam. Secara biologis, bunga atau buah hanya akan muncul dari batang yang akarnya tertanam erat di bumi. Jika akarnya tercerabut, maka sang pohon akan tumbang. Demikian pula halnya dengan sebuah kota.
Apa yang dilakukan Ahmad Muzakki dalam buku ini adalah usaha riil dan sungguh-sungguh untuk mencari dan menggenapi identitas ini, khususnya bagi Kota Metro. Penelitian ini, yang mencoba menelusuri identitas Kota Metro amatlah berharga. Pertama, karena masyarakat mendapatkan informasi yang tergolong langka, meski sesungguhnya tidak baru. Buku ini dapat dikatakan sebagai buku pertama yang mencoba melacak identitas Kota Metro secara kultural—hal yang selama ini luput dari banyak perbincangan, baik akademis maupun percakapan sambil lalu di warung kopi. Kedua, proposisi penelitian ini yang mencoba melacak identitas kultural Kota Metro kiranya akan memberikan perspektif baru—bahkan kearifan baru—bagi pembuat kebijakan, masyarakat Metro, juga bagi masyarakat Lampung pada umumnya untuk melihat identitas daerahnya bukan sebagai sesuatu yang definitif, final, terlampau sakral—dan karena itu menjadi stagnan. Buku ini secara eksplisit menjelaskan asal-asul sebuah kota yang merupakan buah dari konstruksi kultural, politik, ekonomi, bahkan ekologis—bukan sebuah kota yang dari sono-nya terberi dan muncul begitu saja dari ruang vakum sejarah.
Masyarakat kemudian menjadi paham bahwa Metro dibangun bukanlah dari semacam kekosongan kultural. Ia dibangun oleh kebijakan geopolitik pemerintah kolonial yang apik dan kearifan lokal dari masyarakat adat Kebuayan Nuban. Metro adalah sebuah kota yang sendari awal menyusun dirinya dengan semangat kebersamaan. Para petani Jawa datang, meski motif utamanya adalah mencari penghidupan yang lebih baik, dengan membawa spirit kebersamaan dan juga membangun kota dengan semangat dan tekad yang sama. Sementara itu, masyarakat adat dari Buay Nuban juga memberikan dan mengikhlaskan tanah mereka didiami para petani Jawa tersebut dengan berlandaskan semangat kebersamaan yang besar pula. Bila harus disimpulkan secara singkat—Kota Metro dibangun oleh tiga kekuatan besar; kebesaran hati masyarakat Buay Nuban, tekad dan kerja keras untuk maju bersama-sama para petani Jawa, serta ketertiban administratif dan visi geopolitik pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sekarang berkat buku ini kita hendaknya menjadi mahfum—bahwa ada kesepakatan kultural yang menjadi akar identitas Kota Metro. Bahwa Metro bukanlah semacam pulau baru dengan penduduk yang mayoritas bersuku Jawa—yang tergeletak begitu saja di tengah belantara hutan sumatera. Bahwa Metro bukanlah benteng yang identitas dirinya steril dari pengaruh identitas lain. Bahwa Metro adalah semacam entitas yang dirinya terbentuk dari simbiosis dua kultur besar, Buay Nuban dan Jawa.
Kesadaran akan adanya ‘hutang budi kultural’ semacam ini lah, yang jika benar-benar dimengerti dan dihayati, yang akan membimbing Kota Metro dalam menjalankan visinya sebagai kota pendidikan dengan tepat dan akurat. Sebab proses Individuasi dalam terminologi Jung, proses saat seorang individu (yang bisa kita baca juga sebagai sebuah kota) berusaha menjadi dirinya yang sejati, dirinya yang lengkap dan sebenar-benarnya, tak mungkin terwujud jika sang individu atau kota tersebut menolak sebagian anasir dari dirinya sendiri. Proses Individuasi sebuah kota tak mungkin tergenapi jika sang kota hanya mengakomodasi identitas-identitas permukaannya, seperti ekonomi dan politik, dan mengabaikan identitas-identitas primalnya—biologis dan kultural. Jika kita bayangkan bahwa visi sebagai “kota pendidikan” adalah identitas ideal yang coba diwujudkan Kota Metro, maka kesepakatan kultural yang terjalin antara Buay Nuban dan petani Jawa di awal pendirian Kota Metro adalah identitas primal, akar, di mana semua elan vital, gizi, dan orientasi hidup bersumber dan terarah ke visi “kota pendidikan” tersebut. Sederhananya—identitas ideal sebagai “kota pendidikan” tersebut jangan digerakkan semata oleh kepentingan-kepentingan politis dan ekonomis, tapi harus juga menimbang secara maksimal perhitungan-perhitungan sosial dan kulturaldalam gerak langkahnya.
Selamat membaca buku karya Ahmad Muzakki yang informatif, ilmiah, sekaligus asyik ini. Selamat membaca buku yang tak mungkin lahir jika tak didahului niat baik untuk memberikan semacam kesadaran dan perspektif baru ini. Pada akhirnya, selamat membaca, bukan hanya sebuah buku, tapi juga sejarah dan identitas sebuah kota. Jorge Luis Borges, sastrawan besar dunia asal Argentina,kurang lebih pernah berkata, praktik membaca membutuhkan kecerdasan dua kali lipat ketimbang menulis. Karena dengan membaca Anda tak hanya bertugas untuk memahami pikiran-pikiran penulisnya, tapi juga harus memahami kecenderungan, modal, dan sistem pemaknaan yang termaktub dalam pikiranmu sendiri.
Tabik.
Ari Pahala Hutabarat
Penulis, aktivis Kebudayaan, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung.
0 komentar:
Post a Comment