
Menurut Kern (2000), istilah Literasi yang lebih komprehensif adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis (tidak statis) dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/wacana.
Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab rendahnya budaya literasi, namun kebiasaan membaca dianggap sebagai faktor utama dan mendasar. Padahal, salah satu upaya peningkatan mutu sumber daya manusia agar cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan global yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia adalah dengan menumbuhkan masyarakat yang gemar membaca (reading society). Kenyataannya masyarakat masih menganggap aktifitas membaca untuk menghabiskan waktu (to kill time), bukan mengisi waktu (to full time) dengan sengaja. Artinya aktifitas membaca belum menjadi kebiasaan (habit) tapi lebih kepada kegiatan ’iseng’.
Sedangkan, perintah pertama yang datang untuk Rasalullah SAW bukanlah mengenai Sholat melainkan membaca ”iqra”, sebuah perintah membaca. Berkenaan dengan ini, sejarah membuktikan betapa besarnya perhatian Nabi SAW kepada masalah membaca dikalangan anak-anak dan pemuda saat hijrah ke Madinah, sebagai persiapan masa depan umat.
Menurut Nurcholis Madjid (1997), Kemampuan membaca (yang secara statistik dikaitkan dengan tingkat melek huruf ) adalah salah satu faktor yang amat penting dalam kemajuan suatu bangsa. Tingginya tingkat kemampuan baca bangsa itu. Maka bangsa kita pun harus diusahakan tumbuhnya etos membaca setinggi-tingginya. Dalam hal ini etos membaca yang dalam pemuda begitu besar potensinya harus didorong hingga menjadi kenyataan. Minat membaca berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh. Fenomena pengangguran intelektual tidak akan terjadi apabila masyarakat memiliki semangat membaca yang membara. Indonesia sebagai negara berkembang, belum memiliki budaya membaca seperti halnya Jepang.
Budaya literasi (membaca) sejatinya membutuhkan dukungan dari Pemerintah. Budaya literasi (membaca ) berkaitan dengan masa depan bangsa, karena itu perlu mendapat perhatian serius. Selama ini dukungan dari pemerintah masih bersifat temporer. Baru ada perhatian jika peringatan hari-hari tertentu seperti perayaan Hari Buku Nasional yang pelaksanaannyapun hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya, berlangsung sepi, baik secara seremonial maupun subtansial. Tidak ada kegiatan yang benar-benar menghentak atau menyulut kesadaran baru tentang buku, tentang budaya literasi.
Tampak jelas, perhatian pemerintah terhadap peningkatan budaya literasi sangat tidak serius. Masih bersifat pencitraan semata. Walaupun UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan memberikan harapan kepada kita akan berkembangnya budaya literasi, namun implementasi UU tersebut masih jauh dari harapan. Pemerintah pusat dan daerah pun tidak benar-benar menaruh perhatian serius terhadap perkembangan budaya literasi. Pemerintah saat ini bahkan membubarkan Dewan Buku Nasional yang dibentuk pada masa Presiden SBY sehingga tidak ada lagi lembaga yang mengurusi perbukuan pada level nasional. Hal ini menunjukkan budaya literasi masih terpinggirkan dan semakin membuat rendahnya minat membaca kita.
Rendahnya minat baca masyarakat kita sangat mempengaruhi kualitas bangsa Indonesia, sebab dengan rendahnya minat baca, tidak bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi di dunia, di mana pada ahirnya akan berdampak pada ketertinggalan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengejar kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara tetangga, perlu kita kaji apa yang menjadikan mereka lebih maju. Ternyata meraka lebih unggul di sumber daya manusianya. Budaya membaca mereka telah mendarah daging dan sudah menjadi kebutuhan mutlak dalam kehidupan sehari harinya. Untuk mengikuti jejak mereka dalam menumbuhkan minat baca sejak dini perlu ditiru dan diterapkan pada masyarakat, terutama pada tunas-tunas bangsa yang kelak akan mewarisi negeri ini. Sehingga cara berpikir masyarakat kita akan maju dan keluar dari zona kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera.
Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik berkenaan dengan perilaku sosial budaya di dalam masyarakat diketahui persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang membaca surat kabar atau majalah sebesar 18.94% pada tahun 2009 atau turun dari angka sebelumnya sebesar 23.46% pada tahun 2006. Tentu saja ini merupakan berita yang menyedihkan bagi Negara berkembang yang ingin maju. Indonesia temasuk salah satu Negara yang paling sedikit peminat membacanya.
Kita ingatkan kembali bahwa bangsa Indonesia lahir berkat perjuangan para pemimpin setelah melihat realitas kehidupan masyarakat terjajah serta terinspirasi dari gagasan kemerdekaan bangsa yang dibaca dari buku-buku. Dalam hal ini, buku dianggap sebagai "jimat" yang membuat Mohammad Hatta kuat menjalani tekanan pemerintah kolonial Hinda Belanda saat itu. Bung Hatta pernah berkata, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena, dengan buku, aku bebas."
Bila kita berkaca pada kata-kata Bapak Proklamator tersebut sudah saatnya bagi masyarakat Indonesia khususnya pemuda saat ini untuk lebih meningkatkan budaya literasi sebagai langkah memberengus kebodohan dan kemiskinan agar Indonesia menjadi bangsa yang dapat berdaya saing di tingkat Internasional demi meneruskan cita-cita the founding father bangsa ini yang penuh dengan dinamika perjuangan dan pergolakan demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Selamat Hari Buku Nasional
#marimembaca
#ayobacabuku
(buku)(buku)(buku)(baca) (buku)
Hendi Gusta Rianda,
Kabid Kajian dan Keilmuan Mahkamah FH Unila
DEPT. DATA PUSTAKA HMI CABANG BANDAR LAMPUNG KOMISARIAT HUKUM UNILA
0 komentar:
Post a Comment