Wednesday, September 21, 2016

Mengurai Solusi Kekerasan Seksual Terhadap Anak

NEGARA merupakan konsorsium otoritas kekuasan yang dijalankan pemerintah dan badan-badan kelengkapan lainnya yang secara hukum maupun moral memiliki tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan negara. 

Beranjak dari hal tersebut, pemerintah selaku pemangku mandat atas penyelenggara negara harus mampu mengupayakan kedamaian, kesejahteraan, dan melindungi setiap warga negaranya dari tindakan yang dapat merugikan masyarakat terlebih anak-anak sebagai poros bangsa. 

Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat bahwa peranan negara cukup kuat “melindungi segenap bangsa Indonesia” mengandung arti bahwa negara menjamin hak hak warga atau penduduk dalam segala aspek kehidupan.

Sebagai salah satu negara yang telah berkomitmen dalam deklarasi a world fit for children (WFC) pada 27th United Nation General Assembly Special Session on Children 2001 lalu, artinya pemerintah Indonesia telah menyatakan kesiapan mengupayakan dan melaksanakan program-program yang berfokus untuk mengantisipasi dan meretas persoalan-persoalan yang dapat merugikan anak. 

Empat poin tersebut ialah promosi hidup sehat, (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS), dan perlindungan terhadap pelecehan, eksploitasi, dan kekerasan (protecting against abuse, exploitation and violence). (Dok. Ringkasan Buku II, memuat Program Nasional bagi Anak Indonesia).

Data Lembaga Advokasi Damar yang dirilis oleh media Lampung Post 2015 lalu menyimpulkan kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yang signifikan, kekerasan terhadap anak di Lampung tidak jauh lebih baik dari data nasional. Menjadi kacamata bagi semua pihak yang terlibat terlebih pemerintah untuk dapat mengupayakan langkah konkret. 

Meskipun demikian, berdasar pada data catatan Lampung Post, kekerasan seksual lima bulan terakhir di Provinsi Lampung mencapai 12 kasus dan berturut di setiap bulan (Lampung Post, Sabtu, 7 Mei 2016, 11:40 WIB). Dari catatan tersebut setidaknya menjadi potret nyata anak di Lampung.

Penanganan Lambat

Penanggulangan kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya sebatas penggolongan kekerasan seksual tersebut ke dalam kejahatan kriminal atau asusila saja, tetapi hukum berjalan juga terkesan lambat tidak menguntungkan. Adanya diskriminasi saat menyikapi laporan/pengaduan, misalkan yang tertuang di dalam KUHP terdapat istilah delik murni dan delik aduan. 

Dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya terhadap pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian (Hukum Pidana II karya Mr. Drs. E Utrecht). 

Dalam konteks pelapor ini tidak jelas aturannya kemudian siapa yang berkewajiban sebagai pelapor, apakah si korban kekerasan seksual atau orang yang di dekatnya dan siapa? Meskipun demikian, dalam kasus kekerasan seksual yang ada akan sulit berakhir, menilik penanganan kasus yang mengharuskan adanya laporan. Jadi apabila tidak ada laporan dari korban, kasus yang terjadi tidak akan diladeni aparat hukum.

Jika demikian, yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang akan melaporkan atas kasus tersebut? Dan bagaimana korban yang akan merasa takut diancam oleh pelaku secara psikologis sudah pasti tertekan, mereka yang masih belum cukup umur mampu untuk memahami kekerasan yang dialaminya. Haruskah saksi yang melaporkan dan bagaimana jika tidak ada saksi atau saksi enggan melapor, haruskah keluarga korban? Bagaimana seandainya yang melakukan kekerasan seksual tersebut adalah orang tua atau keluarga korban sendiri? Pasti akan kecil kemungkinan aksi tersebut akan dilaporkan? 

Meskipun secara umum masalah kejahatan seksual cenderung dilaporkan, setidaknya kemungkinan terburuk dalam pananganan kasus kekerasan seksual. Sudah sepatutnya delik aduan yang ada dikaji ulang. Beda halnya dengan kasus kekerasan yang dialami oleh orang dewasa yang langsung dianggap delik murni, yakni akan diproses meskipun tidak adanya aduan atau laporan.

Langkah Konkret

Hadirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan proposisi hukum yang harus dipertimbangkan dengan cepat dirumuskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah diajukan merupakan langkah konkret untuk menyikapi persoalan kekerasan seksual di Indonesia. Menguatkan hal itu Komnas Perempuan sejak lama berjuang bersama mewujudkan Indonesia pada masa depan sebagai bangsa yang merdeka dari bentuk kekerasan, khususnya kekerasan seksual. 

Untuk mengupayakan RUU ini agar masuk prolegnas jangka menengah dan prioritas prolegnas 2016, keterlibatan semua pihak baik DPD RI selaku perwakilan daerah agar mendukung segala upaya dalam mendorong RUU, Pemerintah c.q. Kementerian Hukum dan HAM juga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dapat memberikan dukungan dan masyarakat sipil untuk terus membangun gerakan bersama agar DPR RI cepat mengesahkan.

Selain itu, dalam UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 20, tersirat bahwa setiap warga negara dan pemerintah harus saling melindungi baik mengontrol satu sama lain. Kontrol kolektif sebagai perangkat normatif dari KUHP ini dijadikan dasar guna memerangi tindak kekerasan seksual yang tak berujung. 

Namun, fenomena kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia memperlihatkan bahwa perangkat kontrol kolektif yang tersirat ini tidak berjalan, sekadar rumusan belaka dan belum terlihat adanya aksi nyata dari kontrol kolektif sehingga muncul pertanyaan besar yang harus kita jawab masing-masing, apakah kita sendiri sudah memiliki kesadaran akan kontrol kolektif? Kontrol kolektif bisa berjalan jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual saling berikatan dan menguatkan dengan UU lain yang terkait.

Upaya lain bagi meretas kejahatan seksual terhadap anak di atas juga dapat dirumuskan dengan cara lain, penguatan budaya lokal juga sangatlah penting. Bicara ke-Lampung-an misalkan masyarakat adat mengenal hukum adat Cepalo. 

Hukum adat Cepalo Merupakan bentuk nilai dan norma yang dibuat melalui musyawarah mufakat yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Jika kesepakatan tersebut dilanggar, sanksi sosial yang sepadan didapat, terlebih masalah perzinaan misalkan, dan secara konsultatif dan mufakat hukum adat Cepalo ini juga bisa dipakai sebagai bagian dari aksi preventif terhadap kekerasan seksual pada anak. Wallahualambisawab. n

Sumber : http://lampost.co/berita/mengurai-solusi-kekerasan-seksual-anak-

0 komentar:


Top